Masjid Laweyan, Jejak Masjid Tertua di Solo

 

Masjid Laweyan Solo-rr

Katacerita.com, Solo - Masjid Laweyan, apakah teman-teman sudah pernah mendengar kisah Masjid tertua di Solo ini? Yuk kita sama-sama belajar. 

Masjid Soloraya atau karisidenan Surakarta ini sudah dikenal sejak masa di kerajaan Mataram Hindu yang berpusat di sekitar Kedu sampai ke Prambanan.

 Pada abad ke-8 9 dan 10 masehi sebagai sebuah provinsi besar yang bernama Pajang. Di provinsi Pajang ini di sebelah barat berbatasan dengan provinsi yang namanya Mataram.

 Di provinsi Mataram itu batasnya sebelah timur Kali Opak di sebelah barat kali Bogowonto sebelah utara Gunung Merapi sebelah selatan Samudra Ilahi dulu namanya Samudra Ilahi pada masa penyebutan perniagaan jalur rempah-rempah.

Provinsi Pajang sebelah barat batasnya adalah provinsi Mataram. Provinsi Mataram sebelah baratnya lagi namanya Provinsi Bagelen, ke barat lagi namanya provinsi Banyumas. provinsi pajang ini sebelah timurnya namanya provinsi Madiun.

Provinsi Madiun  jaman dahulu nama lamanya Wengker maka disebut pada zaman Majapahit ada raja-raja bagian raja-raja di bawah kekuasaan Majapahit yang dinamakan Bhre Wengker.  Bhre pajang, Bhre Mataram,  Bhre Lasem itu adalah kepala-kepala provinsi dari Kerajaan Majapahit.

Provinsi Pajang ini ibu kotanya dahulu  adalah Laweyan. Nama Laweyan ini tentu belakangan muncul karena kata Lawe itu berasal dari penyebutan untuk kain-kain yang menjadi bahan tekstil dari benang Lawe yang kemudian dipintal lalu djadikan bahan sandang.

Makam Ki Ageng Henis-rr

Jejak Awal Masjid Laweyan

Jejak dari dakwah Islam di wilayah Provinsi Pajang ini bisa kita temui, salah satu bukti tertuanya adalah Masjid Laweyan yang ada di Laweyan nama masjid itu memang seharusnya begitu karena nama masjid itu sesuai dengan nama wilayah dakwahnya. 

Masjid Lawe ini memiliki cerita yang menarik karena di sinilah menjadi wilayah dakwah salah satu leluhur dari dinasti Mataram yang bernama Ki Ageng henis.

Pesareyan Ndalem Kyai Ageng Henis-katacerita
Silsilah Ki Ageng Henis

Ki Ageng Henis ini adalah Ayahanda dari Ki Ageng Pemanahan. Berarti  Ki Ageng Henis ini kakek dari Panembahan Senopati. Ki Ageng Henis ini  putra dari Ki Ageng Selo yang tempat dakwah beliau ada di Selo. Selo daerah Purwodadi, bukan selo di Boyolali.  

Ki Ageng Selo adalah murid kinasih Sunan Kalijaga pada zamannya terkenal dengan kisahnya menangkap petir meskipun itu pasti adalah sebuah metafor di dalam Babad Jawa. Kenapa beliau disebut menangkap petir ketika berada di sawah.  Ingat guyon waton nya orang Jawa kenapa kalau ada petir supaya tidak tersambar kemudian mengatakan "Ki Gandrik Putune ki Ageng Selo".

Menangkap petir ini maknanya adalah yang menaklukkan satu wilayah dakwah. Beliau pada saat itu dianggap sebagai seorang yang melaksanakan Salat Istisqo maka mustajab. Beliau berdakwah di wilayah-wilayah yang kering termasuk Grobogan pada saat itu adalah wilayah kering maka beliau memimpin salat Istisqa untuk memohon hujan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala sehingga pada saat itu Allah mengaruniakan hujan. Oleh sebab itu beliau dianggap sebagai yang mampu mengendalikan cuaca sehingga disebut sebagai yang menangkap Petir itu.

Nah inilah leluhur dari Trah Mataram yang kemudian Ki Ageng Selo nanti adalah putra dari Ki Ageng Tarub. Nasabnya naik konon kepada Raja Brawijaya ke-V Raja Majapahit dari dinasti Wijaya yang terakhir. Karena Putra beliau yang bernama Bondan Kejawan itu nanti menjadi Ki Ageng Tarub ketiga setelah menikahi Dewi Nawangsih Putra Ki Ageng Tarub kedua.

Raden Bondan Kejawan ini konon Putra Brawijaya V dari istri yang berasal dari Putri Wandan. Wandan ini daerah di Indonesia Timur yang hari ini kita kenal sebagai daerah Banda Neira di kepulauan Maluku. Maka nanti kalau kita melihat biografi Sultan Agung salah satu keturunan dari sini disebutkan tubuhnya lebih kecil daripada orang Jawa pada umumnya dan kulitnya lebih gelap daripada orang Jawa pada umumnya karena ada darah dari Banda Neira yang berasal dari Indonesia timur pada saat itu.

Pintu gerbang masuk pesareyan Ki Ageng Henis, berada di Sebelah Masjid Laweyan-rr


Kedatangan Ki Ageng Henis di Laweyan

Ki Ageng Henis yang berdakwah ini adalah seorang ulama yang pada saat itu diutus ayahnya untuk membuka dakwah ke arah selatan. Dari Selo menuju ke arah selatan  sampai di wilayah yang kemudian kita kenal sebagai wilayah Pajang saat ini

Kira-kira tahun 1546 masih di masa Kesultanan Demak beliau tiba di wilayah Pajang kemudian beliau menemui tokoh setempat  seorang pemuka agama Hindu yang bernama Ki Ageng Beluk.

Ki Ageng Beluk ini kemudian menjadi sahabat dari Ki Ageng Henis. Dengan sangat santun Ki ageng Henes meminta izin kalau diperkenankan beliau akan mengajari masyarakat untuk memanfaatkan banyaknya pohon Lawe yang ada di sekitar untuk menjadi bahan sandang. 

perlu digaris bawahi bahwa da'i-da'i zaman dulu itu selalu melihat potensi wilayah kemudian mencoba untuk mengembangkannya sebagai jawaban persoalan masyarakat dan Lawe di daerah tersebut kemudian dikembangkan oleh Ki Ageng Henis untuk menjadi produk bahan sandang.

Jadi lawe kemudian dipintal, dari benang-benang Lawe, ditenun menjadi kain-kain yang bisa dipasarkan. Sehingga masyarakat membuka diri dengan sangat antusias "Wah ini ada orang pinter datang kesini mengembangkan industri." Jadi sejak dulu memang daerah ini kawasan industri. Masyarakat setempat diajak untuk mengolah lawe menjadi kain.

Akhlak Ki Ageng Henis

Akhlak Ki Ageng Henis disebutkan begitu manis maka disebut Ki Ageng Henis karena akhlaknya yang sangat manis. Terasa budi pekertinya yang luhur, baik hati kepada orang, mudah berbagi, suka menolong sampai Ki Ageng Beluk sendiri kadang merasa sungkan saking baiknya Ki ageng Henis kepada beliau.

Ki Ageng Henis tidak langsung menyampaikan “Saya mau menyebarkan agama Islam”. Beliau lebih membina masyarakat terlebih dahulu lama-kelamaan banyak orang yang kemudian tertarik kepada ibadah beliau yang tekun. 

Setiap Subuh sudah bangun kemudian beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala . Di tengah-tengah waktu Dhuha beliau minta izin setelah mengawasi pekerja-pekerja yang memintal benang lawe ini. Beliau melaksanakan salat dhuha.

Diwaktu Dhuhur beliau juga salat sebelum melayani makan untuk para pekerja-pekerjanya dan seterusnya jadi akhirnya lama-kelamaan banyak penduduk yang tertarik pada Dinul Islam. Banyak  penduduk masuk Islam melalui beliau Ki Ageng Henis

Siapa Ki Ageng Beluk? Bagaimana Masjid Lawe Berdiri?

Ki Ageng Beluk ini adalah  pemilik sebuah Pura besar , tempat ibadah Agama Hindu yang besar di wilayah Laweyan tersebut ini. Ki Ageng Beluk yang kemudian menjadi sahabat dari Ki Ageng Henis. Beliau semakin percaya kepada Ki Ageng Henis, samapai akhirnya Ki Ageng Beluk pun juga memeluk Islam.

Begitu beliau memeluk Islam maka beliau mewakafkan Pura selama ini menjadi tempat beliau mengajarkan agama Hindu untuk kemudian dipakai oleh Ki Ageng Henis sebagai masjid. Akhirnya adilah masjid Laweyan yang kita kenal sekarang ini. Kira-kira ditarikh berdirinya adalah pada tahun 1564.

Jejak Dakwah, Kesabaran Ki Ageng Henis

Kita hitung dari sejak Ki Ageng henis datang 1546 sampai beliau kemudian berhasil mengubah masyarakat mayoritas menjadi muslim dan bahkan pemuka agama Hindunya masuk Islam dan mewakafkan masjid itu tahun 1564 berarti kira-kira total waktunya 18 tahun.

Sabar sekali merintis dakwah selama 18 tahun sampai kemudian bisa meresmikan sebuah masjid. Menunjukkan satu jejak dakwah yang luar biasa yang kemudian dilakukan oleh seorang ulama besar Ki Ageng Henis.

Inilah jejak dakwah Ki Ageng Henis sehingga berdiri Masjid tertua di Solo, Masjid Laweyan. 

 

Sumber : 

Tulisan ini adalah transkip dari Ustadz Salim A. Fillah saat menjadi Dosen Tamu di Ma'had Aly An Nur, dan ada perubahan penataan bahasa agar admin dan pembaca bisa memahami dengan mudah.

Comments